Sabtu, 11 Agustus 2012

Penyulit dan Komplikasi Obstetri pada Masalah Kehamilan


http://htmlimg4.scribdassets.com/2s4obzjg74nbqe7/images/1-b4e7075c30/000.pnghttp://html.scribd.com/2s4obzjg74nbqe7/images/1-b4e7075c30/000.pnghttp://htmlimg4.scribdassets.com/2s4obzjg74nbqe7/images/1-b4e7075c30/000.pnghttp://html.scribd.com/2s4obzjg74nbqe7/images/1-b4e7075c30/000.png
Pengantar Profesi Keperawatan
RAD-09/005-02-PSIK/FK-UNLAM
APLIKASICARING
PADA KLIEN MENJELANG AJAL
DISUSUN OLEH
KELOMPOK V
REZA MASWANDI
I1B108222
NOOR FITHRIYAH
I1B109004
RENALDY AZWARI DELMI
I1BI09005
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU, 2010
http://htmlimg2.scribdassets.com/2s4obzjg74nbqe7/images/2-18f9057212/000.pnghttp://html.scribd.com/2s4obzjg74nbqe7/images/2-18f9057212/000.png
Pengantar Profesi Keperawatan
RAD-09/005-02-PSIK/FK-UNLAM
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kami ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan taufik dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul“Apli ka siCaring
pada Klien Menjelang Ajal” ini dapat
diselesaikan.
Makalah ini memuat tentang konsep keadaan terminal, tujuan, serta aplikasi
caring pada klien menjelang ajal.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Saran dan kritik membangun tentunya sangat kami harapkan untuk penyempurnaan dan perbaikan di masa mendatang.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca khususnya mahasiswa perawat yang kelak akan melaksanakan tugasnya dibidang keperawatan.
Banjarbaru, 1 Agustus 2010
Penulis

BAB I       PENDAHULUAN



1.1        Latar  Belakang Masalah

Kehamilan adalah hasil konsepsi dari proses fertilisasi yang menghasilkan zigot yang setelah minggu ke-36 sampai aterm yang akan menghasilkan janin dan janin tersebut akan mempunyai pewarisan sifat dari gen DNA dan RNA kedua orang tuanya. Dalam proses perjalanannya tidak selalu berjalan dengan baik, ada kalanya kehamilan disertai dengan penyulit-penyulit seperti kehamilan ektopik terganggu, mola hidatidosa, pendarahan antepartum, dan lain sebagainya.
Karena hal inilah maka kami menyusun makalah dengan judul  Penyulit dan Komplikasi Obstetri pada Masalah Kehamilan. Semoga dengan adanya makalah ini dapat membantu mahasiswa kebidanan untuk lebih mendalami materi penyulit dan komplikasi obstetri pada masalah kehamilan, sehingga kompetensi bisa terselesaikan.

1.2        Rumusan Masalah

              Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka penyusun merumuskan permasalahan dalam bentuk pertanyaan :
1.         Apa yang dimaksud dengan kehamilan ektopik terganggu?
2.         Bagaimana mola hidatidosa bisa terjadi?
3.         Apa saja yang termasuk ke dalam pendarahan antepartum?

1.3        Metode Penulisan

              Dalam penyusunan makalah ini kami  menggunakan beberapa metode, yaitu:
1.         Metode Literatur
Yaitu mengumpulkan data yang informasinya dengan bantuan dari berbagai sumber, baik dari buku-buku yang berhubungan dengan karya tulis dan kamus serta karya ilmiah lainnya
2.         Metode Deskripsi Yaitu paparan dengan kata-kata terperinci, metode ini dilakukan dengan cara memaparkan permasalahan dengan kata-kata sendiri dan mengurutkannya dengan teratur dan jelas.

BAB II            ISI



2.1        Kehamilan Ektopik Terganggu

2.1.1         Pengertian
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang tempat implantasi/ nidasi/ melekatnya buah kehamilan di luar tempat yang normal, yakni di luar rongga rahim Sedangkan yang disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu adalah suatu kehamilan ektopik yang mengalami abortus ruptur pada dinding tuba. (Wibowo, 2007).
2.1.2         Etiologi
Semua faktor yang menghambat migrasi embrio ke kavum uteri menyebabkan seorang ibu semakin rentan untuk menderita kehamilan ektopik, yaitu :
1.    Faktor dalam lumen tuba
a.    Endosalpingitis, menyebabkan terjadinya penyempitan lumen tuba
b.    Hipoplasia uteri, dengan lumen tuba menyempit dan berkelok-kelok
c.    Operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tidak sempurna 
2.    Faktor pada dinding tuba
a.    Endometriosis, sehingga memudahkan terjadinya implantasi di tuba
b.    Divertikel tuba kongenital, menyebabkan retensi ovum.
3.    Faktor di luar dinding tuba
a.    Perlekatan peritubal dengan distorsi atau lekukan tuba
b.    Tumor yang menekan dinding tuba
c.    Pelvic Inflammatory Disease (PID)
4.    Faktor lain
a.    Hamil saat berusia lebih dari 35 tahun
b.    Fertilisasi in vitro
c.    Penggunaan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)
d.   Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
e.    Infertilitas
f.     Mioma uteri
2.1.3        Patologi
                        Proses implantasi ovum yang dibuahi, yang terjadi di tuba pada dasarnya sama dengan di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau inter kolumner. Pada yang pertama telur berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping. Perkembangan telur selanjutnya di batasi oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan kemudian di resorbsi.
                        Mengenai nasib kehamilan dalam tuba terdapat beberapa kemungkinan, karena tuba bukan tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, tidak mungkin janin tumbuh secara utuh seperti dalam uterus. Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 sampai 10 minggu.
1.                  Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi    
            Ovum mati dan kemudian diresorbsi, dalam hal ini sering kali adanya kehamilan tidak di ketahui, dan perdarahan dari uterus yang timbul sesudah meninggalnya ovum, di anggap sebagai haid yang datangnya agak terlambat.
2.                  Abortus ke dalam lumen tuba
            Trofoblast dan villus korialisnya menembus lapisan pseudokapsularis, dan menyebabkan timbulnya perdarahan dalam lumen tuba. Darah itu menyebabkan pembesaran tuba (hematosalping) dan dapat pula mengalir terus ke rongga peritoneum, berkumpul di kavum Douglasi dan menyebabkan hematokele retrouterina.
3.                  Ruptur dinding tuba
            Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstialis terjadi pada kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur ialah penembusan villi koriales ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum.


2.1.4         Prognosis
a.         Bagi kehamilan berikutnya
Umumnya penyebab kehamilan ektopik (misalnya penyempitan tuba atau pasca penyakit radang panggul) bersifat bilateral. Sehingga setelah pernah mengalami kehamilan ektopik pada tuba satu sisi, kemungkinan pasien akan mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba sisi yang lain.
b.        Bagi Ibu
Bila diagnosis cepat ditegakkan umumnya prognosis baik, terutama bila cukup penyediaan darah dan fasilitas operasi serta narkose.

2.1.5         Penatalaksanaan
a.       Setelah diagnosis ditegakan, segera lakukan persiapan untuk tindakan operatif gawat darurat.
b.    Ketersediaan darah pengganti bukan menjadi syarat untuk melakukan tindakan operatif karena sumber perdarahan harus dihentikan.
c.       Upaya stabilisasi dilakukan dengan segera merestorasi cairan tubuh dengan larutan RL (500 ml dalam lima menit pertama) atau 2l dalam dua jam pertama (termasuk selama tindakan berlangsung)
d.      Bila darah pengganti belum tersedia, berikan autotransfusion berikut ini :
1)        Pastikan darah yang dihisap dari rongga obdomen telah melalui alat pengisap dan wadah penampung yang steril
2)    Saring darah yang tertampung dengan kain steril dan masukan kedalam kantung darah (blood bag) apabila kantung darah tidak tersedia masukan dalam botol bekas cairan infus (yang baru terpakai dan bersih) dengan diberikan larutan sodium sitrat 10ml untuk setiap 90ml darah.
3)    Transfusikan darah melalui selang transfusi yang mempunyai saringan pada bagian tabung tetesan.


e.       Tindakan dapat berupa :
1)        Parsial salpingektomi yaitu melakukan eksisi bagian tuba yang mengandung hasil konsepsi.
2)        Salpingostomi (hanya dilakukan sebagai upaya konservasi dimana tuba tersebut merupakan salah satu yang masih ada) yaitu mengeluarkan hasil konsepsi pada satu segmen tuba kemudian diikuti dengan reparasi bagian tersebut. Resiko tindakan ini adalah kontrol perdarahan yang kurang sempurna atau rekurensi (hasil ektopik ulangan).
f.        Mengingat kehamilan ektopik berkaitan dengan gangguan fungsi transportasi tuba yang di sebabkan oleh proses infeksi maka sebaiknya pasien di beri anti biotik kombinasi atau tunggal dengan spektrum yang luas.
g.       Untuk kendali nyeri pasca tindakan dapat diberikan:
1)      Ketoprofen 100 mg supositoria.
2)      Tramadol 200 mg IV.
3)      Pethidin 50 mg IV (siapkan anti dotum terhadap reaksi hipersensitivitas)
h.       Atasi anemia dengan tablet besi (SF) 600 mg per hari.
i.         Konseling pasca tindakan      

2.2        Mola Hidatidosa

2.2.1        Pengertian
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal / kehamilan yang berkembang dengan tidak wajar dimana terdapat penyimpangan pertumbuhan dan perkembangan kehamilan yang tidak disertai janin dan seluruh vili korealis mengalami perubahan hidrofik sehingga berupa buah anggur dengan  mengandung banyak cairan  dan hormon yang bersifat jinak dan neoplastik/ganas. Pada kehamilan molahidatidosa terjadi pembesaran perut yang lebih cepat tanpa terdapat janin dalam rahim serta dapat terjadi perdarahan.

2.2.2         Klasifikasi
Pengklasifikasian mola hidatidosa di dasarkan ada tidaknya jaringan dalam uterus. Pengklasifikasian tersebut adalah :
1.    Mola hidatidosa komplit (MHK)
        Merupakan kehamilan abnormal tanpa embrio yang seluruh vili korealisnya mengalami degenerasi hidropik. Secara makroskopik ditandai dengan gelembung – gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan  jernih dengan ukuran yang bervariasi dari beberapa millimeter sampai 1 – 2 centimeter.
        Massa tersebut dapat tumbuh besar sehingga memenuhi uterus. Gambaran histologik memperlihatkan:
a.                   Degenerasi hidropik dan pembengkakan stroma villus.
b.                 Tidak ada pembuluh darah dalam vili yang membengkak
c.                  Proliferasi epitel trofoblas hingga mencapai derajat yang beragam.
2.    Mola hidatidosa parsial (MHP)
Merupakan keadaan dimana perubahan mola hidatidosa bersifat lokal serta belum begitu jauh dan masih terdapat janin atau sedikitnya kantong amnion, umumnya janin mati pada bulan pertama. Secara makroskopis tanpa gelembung mola hidatidosa yang disertai janin atau bagian dari janin. Pada gambaran histologi tampak bagian vili yang avaskuler, terjadi pembengkakan mola hidatidosa yang berjalan lambat, sementara vili yang vaskuler dari sirkulasi daerah fetus. Plasenta yang masih berfungsi tidak mengalami perubahan.

2.2.3        Faktor Resiko
Walaupun etiologi penyakit ini belum diketahui secara pasti, tetapi telah lama disadari bahwa penderita penyakit ini mempunyai faktor risiko terentu. Telah diketahui bahwa penyakit ini banyak ditemukan pada :
1)    Golongan sosio ekonomi rendah.
Kejadian penyakit trofoblas di Asia jauh lebih tinggi di bandingkan Negara maju. Hal ini terjadi karena kekurangan protein dalam makanan, kekurangan vitamin dalam makanan, dan secara keseluruhan kekurangan energi yang dikandung dan diperlukan tubuh untuk tumbuh-kembangnya. Dengan demikian penyakit trofoblas sebagian besar terjadi pada golongan sosial-ekonomi yang rendah.
2)    Usia saat hamil kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.
       Menjelang awal atau akhir reproduksi seorang wanita terdapat frekuensi mola hidatidosa yang relatif tinggi dalam kehamilan. Efek usia yang paling menonjol terlihat pada wanita yang umurnya melebihi 45 tahun, yaitu frekuensi relatif kelainan tersebut 10 kali lebih besar dibandingkan pada     usia 20 sampai 40 tahun. Ibu dengan paritas tinggi, memiliki kemungkinan terjadinya abnormalitas pada kehamilan berikutnya, sehingga ada kemungkinan kehamilan berkembang menjadi mola hidatidosa.

2.2.4         Gejala Klinis
Dapat terbagi dalam 3 bagian, yaitu :
1)    Keluhan utama
Pada pasien amenorhea terdapat perdarahan kadang – kadang sedikit, kadang banyak, karena perdarahan tersebut biasanya pasien anemis.
2)    Perubahan yang menyertai :
a. Pada pemeriksaan fisik, kehamilan mola komplit di dapatkan umur kehamilan  yang tidak sesuai dengan besarnya uterus (tinggi fundus uteri). Pembesaran uterus yang tidak konsisten ini disebabkan oleh pertumbuhan trofoblastik yang eksesif  dan tertahannya darah dalam uterus.
b. Hyperemesis lebih sering terjadi, dan biasanya lebih berat.
c. Tidak ada tanda gerakan janin melainkan keluarnya vesikel – vesikel seperti anggur yang di awali keluarnya sekret yang kontinue dan intermiten, tidak ada balottemen pada palpasi, tidak ada bunyi jantung janin pada ultrasonografi dan tidak tampak kerangka janin pada rontgen foto. Pada mola parsialis (keadaan yang jarang terjadi) dapat ditemukan janin.
d. Kadar hormon choriogonadotropin (HCG) tinggi pada urin dan darah.
3)    Adanya penyulit :
a. Mungkin timbul preeklamsi  atau eklamsi.
            Ditemukan gejala preeklamsia (27% kasus) dengan karakteristik gejala tekanan darah tinggi dan edema dengan hipereflaksia. Biasanya jika terjadi sebelum minggu ke 24 menunjukkan kearah mola hidatidosa.
b. Akhir – akhir ini ditemukan adanya gejala tirotoksikosis.
Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola hidatidosa sering meningkat, tetapi jarang menyebabkan gejala klinis hipertiroidisme. Peningkatan tiroksin plasma disebabkan oleh estrogen, seperti pada kehamilan normal, yang kadar tiroksin bebasnya tidak meningkat. Tiroksin bebas dalam serum meningkat akibat efek gonadotropin korionik atau varian – variannya yang mirip tirotropin. Mola hidatidosa yang disertai tirotoksikosis mempunyai prognosis yang lebih buruk baik dari segi kematian maupun kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya penderita meninggal karena krisis tiroid.
c. Emboli sel ke paru – paru.
Pada tiap kehamilan selalu ada migrasi sel trofoblas ke peredaran darah  kemudian ke paru – paru tanpa memberikan gejala apa – apa. Tetapi pada mola hidatidosa kadang – kadang jumlah sel trofoblas ini demikian banyak sehingga dapat menimbulkan emboli paru – paru akut yang bisa menyebabkan kematian.
d. Kista theca lutein (kista ovarium yang diameternya berukuran >6 cm yang diikuti oleh pembesaran ovarium).
     Umumnya kista ini segera menghilang setelah jaringan molahidatidosa dikeluarkan, tetapi ada juga kasus – kasus di mana kista lutein baru ditemukan pada waktu follow up. Dengan pemeriksaan klinis insidensi kista lutein kurang lebih 10,2%, tetapi bila menggunakan ultrasonografi angkanya meningkat sampai 50%. Kasus molahidatidosa dengan kista lutein mempunyai risiko 4 kali lebih besar untuk mendapat degenerasi  keganasan di kemudian hari dari pada kasus – kasus tanpa kista.

2.2.5         Diagnosis
1.    Anamnesis
Perdarahan pervaginam / gambaran NOK, gejala toksemia pada trimester I dan II, hiperemisis gravidarum, gejala tirotoksikosis dan gejala emboli paru
2.    Pemeriksaan fisik
Uterus lebih besar dari usia kehamilan, kista lotein balotemen negatif, denyut jantung janin negatif.
3.    Pemeriksaan penunjang

2.2.6         Prognosis
Resiko kematian/kesakitan pada penderita mola hidatidosa meningkat karena perdarahan, perforasi uterus, preeklamsi berat, tirotoksikosis atau infeksi. Akan tetapi, sekarang kematian karena molahidatidosa sudah jarang sekali. Segera setelah jaringan mola hidatidosa dikeluarkan, uterus akan mengecil, kadar hCG menurun dan akan mencapai kadar normal sekitar 10 – 12 minggu pascaevakuasi. Kista lutein juga akan mengecil lagi. Pada beberapa kasus pengecilan ini bisa mengambil waktu beberapa bulan.
Sebagian besar penderita mola hidatidosa akan baik kembali setelah kuretase. Bila hamil lagi, umumnya berjalan normal, namun mola hidatidosa  berulang dapat terjadi, tetapi jarang. Walaupun demikian, 15–20% dari penderita pasca mola hidatidosa dapat mengalami degenerasi keganasan menjadi tumor trofoblas gestasional (TTG), baik berupa mola invasif, koriokarsinoma, maupun placental site trophoblastic tumor (PSTT).
Keganasan ini biasanya terjadi pada satu tahun pertama pascaevakuasi, yang terbanyak pada enam bulan pertama. MHP lebih jarang menjadi ganas. Faktor risiko terjadinya TTG pasca molahidatidosa adalah umur di atas 35 tahun,    uterus di atas 20 minggu, kadar hCG preevakuasi di atas 100.000 IU/L, dan kista lutein bilateral.

2.2.7         Penatalaksanaan
1)    Perbaikan keadaan umum.
Yang termasuk usaha ini adalah transfusi darah untuk mengatasi syok hipovelemik atau anemi, pengobatan terhadap penyulit, seperti preeklamsi berat atau tirotoksikosis. Setelah penderita stabil, baru dilakukan evakuasi.
2)    Evakuasi.
Pada umumnya evakuasi jaringan molahidatidosa dilakukan dengan kuret vakum, kemudian sisanya dibersihkan dengan kuret tajam. Tindakan kuret hanya dilakukan satu kali. Kuret ulangan hanya dilakukan bila ada indikasi. Pada kasus molahidatidosa yang belum keluar gelembungnya, harus di pasang dahulu laminaria stift (12 jam sebelum kuret), sedangkan pada     kasus yang sudah keluar gelembungnya, dapat segera di kuret setelah keadaan umumnya distabilkan. Bila perlu dapat diberi narkosis neuroleptik.
3)    Tindakan profilaksis.
Adalah  untuk  mencegah  terjadinya  keganasan  pascamola   pada   mereka yang mempunyai faktor risiko, seperti umur diatas 35 tahun atau gambaran PA yang mencurigakan.
       Ada 2 cara yaitu :
a.     Histerektomi dengan jaringan mola in toto, atau beberapa hari pascakuret. Tindakan ini dilakukan pada wanita dengan umur diatas 35 tahun serta anak cukup.
b.    Sitostatika profilaksis. Diberikan kepada mereka yang menolak histerektomi atau wanita muda dengan PA mencurigakan.
       Caranya: Methotrexate 20 mg/hari atau Actinomycin D 1 flc/hari, 5 hari berturut-turut.

4)    Pemeriksaan tindak lanjut (follow up):
Yaitu pengawasan lanjutan untuk memantau/mendeteksi secara dini adanya perubahan ke arah keganasan dan untuk mengevaluasi pasca evakuasi. Langkah pengawasan dilakukan secara klinis, laboratorium, dan radiologis. Monitor kadar hCG sampai kadar hCG menjadi negatif (-). Dilakukan selama satu tahun dengan jadwal sebagai berikut:
a.     Tiga bulan pertama        : tiap 2 minggu
b.    Tiga bulan kedua           : tiap 1 bulan
c.     Tiga bulan terakhir        : tiap 2 bulan
Selama dilakukan pemeriksaan ginekologik dan ß-hCG, serta pemeriksaan foto toraks kalau perlu. Tindak lanjut dianggap selesai bila satu tahun pascaevakuasi molahidatidosa, penderita tidak mempunyai keluhan dan kadar ß-hCG di bawah 5 IU/L atau bila penderita sudah hamil lagi dengan normal.
Selama tindak lanjut, pasien dianjurkan untuk menggunakan kondom atau pil kontrasepsi hormonal (apabila masih ingin punya anak) atau tubektomi apabila ingin menghentikan fertilisasi.

2.3         Pendarahan Antepartum
2.3.1        Pengertian
Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah kehamilan 28 minggu. Biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada perdarahan kehamilan sebelum 28 minggu (Mochtar, 1998).
Pedarahan antepartum biasanya di batasi pada perdarahan jalan lahir setelah kehamilan 28 Minggu, walaupun patologi yang sama dapat pula terjadi pada kehamilan sebelum 28 Minggu. Perdarahan setelah kehamilan 28 Minggu biasanya lebih banyak & lebih berbahaya dari pada sebelum kehamilan 28 Minggu, oleh karena itu memerlukan penanganan berbeda.


2.3.2        Klasifikasi Perdarahan Antepartum
2.3.2.1        Kelainan Plasenta
1.    Plasenta previa
a. Definisi
Plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir.Pada keadaan normal plasenta terletak dibagian atas uterus.
b. Klasifikasi
Plasenta previa didasarkan atas terabanya jaringan plasenta melalui pembukaan jalan lahir pada waktu tertentu. Jenis plasenta previa:
1) Plasenta previa totalis : seluruh pembukaan jalan lahir tertutup plasenta.
2) Plasenta previa lateralis/parsialis : sebagian pembukaan jalan lahir  tertutup plasenta.
3)  Plasenta previa marginalis : pinggir plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan.
4) Plasenta letak rendah : plasenta yang letaknya abnormal pada segmen bawah  uterus, tapi  belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir.
Pinggir plasenta berada kira-kira 3 atau 4 cm diatas pinggir pembukaan, sehingga tidak akan teraba pada pembukaan jalan lahir. Karena klasifikasi tidak didasarkan pada keadaan anatomik melainkan fisiologis, maka klasifikasi akan berubah setiap waktu.
3. Etiologi
Plasenta previa pada primigravida yang berumur > 35 Th , 10 kali lebih sering dibandingkan dengan primigravida yang berumur < 25 Th.

4.    Gambaran klinik
Ø HAP tanpa nyeri & perdarahan tanpa alasan
Ø Darah berwarna merah segar
Ø Bagian terbawah janin belum masuk PAP
Ø Kelainan letak janin
Tanda utama plasenta previa adalah perdarahan tanpa alasan, maka sesegera mungkin pasien datang ke Rumah Sakit untuk mendapatkan pertolongan.
5.    Penentuan Letak Plasenta Previa
a.    Penentuan letak plasenta secara langsung .
     Perabaan fornises / melalui kanalis servikalis, berbahaya karena dapat menimbulkan perdarahan banyak.
b.    Penentuan letak plasenta tidak langsung.
     USG adalah cara yang sangat tepat, karena tidak menimbulkan bahaya radiasi bagi  ibu dan janinnya & tidak menimbulkan rasa nyeri.
6.    Diagnosis
Setiap perdarahan antepartum, pertama kali harus dicurigai bahwa penyebabnya ialah plasenta previa, solusio plasenta dll.
a.     Anamnesis
Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 28 Minggu berlangsung tanpa nyeri, tanpa alasan, terutama pada multigravida. Banyak perdarahan tidak dapat dinilai dari anamnesis, melainkan dari pemeriksaan hematokrit.
b.    Pemeriksaan luar
Bagian terbawah janin biasanya belum masuk PAP, apabila presentasi kepala biasanya kepala masih terapung diatas PAP & sukar didorong ke dalam PAP.
c.    Pemeriksaan inspekulo
Bertujuan untuk mengetahui apakah  perdarahan berasal dari ostium uteri eksternum atau dari kelainan serviks & vagina, seperti erosio porsionis uteri, karsinoma porsio uteri, polipus serviks uteri, varises vulva & trauma. Apabila perdarahan berasal dari ostium uteri eksternum harus dicurigai plasenta previa.
7.    Penanganan
a.    Prinsip dasar penanganan
Setiap ibu dengan perdarahan antepartum harus segera dikirim ke Rumah Sakit yang memiliki fasilitas untuk melakukan transfusi darah & operasi.
b.    Penanganan
1.     Penanganan pasif
§  Jika perdarahan diperkirakan tidak membahayakan
§  Janin masih premature dan masih hidup
§  Umur kehamilan kurang dari 37 Minggu
§  Tafsiran berat janin belum sampai 2500 gram
§  Tanda persalinan belum mulai dapat dibenarkan untuk menunda persalinan sampai janin dapat hidup di luar kandungan lebih baik.
§  Tidak boleh dilakukan pemeriksaan dalam (VT)
§  Tangani anemia
§  Untuk menilai banyaknya perdarahan harus lebih didasarkan pada pemeriksaan hemoglobin & hematokrit secara berkala, dari pada memperkirakan banyaknya darah yang hilang pervaginam.
Tujuan  penanganan pasif :  Pada kasus tertentu sangat bermanfaat untuk mengurangi angka kematian neonatus yang tinggi akibat prematuritas. Pada penanganan pasif ini tidak akan berhasil untuk angka kematian perinatal pada kasus plasenta previa sentralis.
2.        Penanganan aktif
§  Perdarahan di nilai membahayakan
§  Terjadi pada kehamilan lebih dari 37 Minggu
§  Tafsiran berat janin lebih dari 2500 gram tanda persalinan sudah mulai
§  Pemeriksaan dalam boleh dilakukan di meja operasi.
8. Prognosis
Pada plasenta previa dengan penanggulangan yang baik maka kematian ibu rendah sekali,tapi jika keadaan janin buruk menyebabkan kematian perinatal prematuritas.

Terdapat 2  pilihan cara persalinan :
1)        Persalinan pervaginam
Bertujuan agar bagian terbawah janin menekan plasenta & bagian plasenta yang berdarah selama persalinan berlangsung. Sehingga perdarahan berhenti. Dilakukan dengan cara :
a.                                         Pemecahan selaput ketuban karena :
ü Bagian terbawah janin menekan plasenta dan bagian plasenta yang berdarah
ü Bagian plasenta yang berdarah dapat bebas mengikuti regangan segmen bawah uterus sehingga pelepasan plasenta dapat dihindari
b.                                        Pemasangan  Cunam Willett dan versi Braxton Hiks
2)        Seksio sesarea
Prinsip utama dalam melakukan seksio sesarea adalah untuk menyelamatkan ibu, sehingga walaupun janin meninggal atau tak punya harapan untuk hidup, tindakan ini tetap dilakukan.
2.    Solusio plasenta
a.    Definisi Solusio Plasenta
Solusio plasenta ialah terlepasnya plasenta yang letaknya normal pada korpus uteri sebelum janin lahir.
b.    Klasifikasi Solusio plasenta
Solusio plasenta dibagi dalam 3 macam :
1)   Solusio plasenta totalis        : plasenta lepas seluruhnya
2)   Solusio plasenta parsialis     : plasenta lepas sebagian
3)   Solusio plasenta ringan / ruptura sinus marginalis   Plasenta lepas pinggirnya (sedikit).
c.    Faktor predisposisi
1)   Umur ibu tua
2)   Multiparitas
3)   Hipertensi kronis
4)   Pre eklamsi
5)   Trauma
6)   Tali pusat pendek
7)   Tekanan vena cava inferior
8)   Defisiensi asam folik
d.   Gejala Solusio plasenta
a)    Gejala klinis :
ü  Solusio plasenta ringan
                Terjadi ruptura sinus marginalis / sebagian kecil plasenta yang lepas, perdarahan sedikit / terjadi bisa pervaginam dan berwarna kehitaman, perut agak sakit atau tegang, bagian janin masih mudah diraba.
ü  Solusio plasenta sedang
Terjadi pelepasan plasenta lebih dari 1/4 bagian atau kurang dari 2/3 bagian, sakit perut berlebihan, perdarahan pervaginam, dinding uterus tegang dan nyeri tekan sehingga janin sukar diraba, ibu syok dan gawat janin, kelainan pembekuan darah & ginjal.
ü  Solusio plasenta berat
                 Plasenta lepas lebih dari 2/3 bagian, terjadi tiba-tiba, ibu syok dan janin sudah meninggal, terjadi perdarahan pervaginam, kelainan pembekuan darah & payah ginjal.
b)   Gejala Umum
1.        Jika darah masih sedikit maka tidak selalu terjadi perdarahan pervaginam.
2.        Gejala awal : nyeri abdomen,uterus tegang, nyeri tekan uterus
3.        Darah berwarna kehitaman
4.        Perdarahan banyak sehingga terjadi syok & janin sudah meninggal
e.    Prognosis
     Pada solusio plasenta prognosis tergantung luas plasenta yang lepas, banyaknya perdarahan, cepatnya penanganan yang ditunjukan oleh ibu.Untuk solusio plasenta berat 100% kematian pada janin.Untuk solusio plasenta ringan dan sedang tergantung pada luas plasenta yang lepas, usia kehamilan yang ditunjukan untuk janin.
f.     Komplikasi
1.     Pendarahan  sehingga terjadi syok hipovolemik
2.     Kelainan pembekuan darah
3.     Oliguria sampai dengan payah ginjal
4.     Gawat janin sampai menyebabkan kematian janin




g.    Penanganan
1)   Solusio plasenta ringan
Pada kehamilan kurang dari 37 Minggu jika   perdarahan berhenti, nyeri abdomen berkurang, uterus tidak tegang, maka pasien boleh pulang.Tapi jika perdarahan bertambah lagi & tanda-tanda solusio plasenta berlebihan maka akhiri kehamilannya.Pada kehamilan lebih dari 37 Minggu dengan mengakhiri kehamilan.
2)   Solusio plasenta sedang dan berat
a.    Sediakan /pasang tranfusi darah
b.    Memecahkan ketuban dapat dilakukan persalinan pervaginam lebih 6 jam, setelah solusio plasenta maka harus dilakukan seksio sesarea.
c.    Sediakan/beri infus oksitosin
d.   Penanganan komplikasi

3.    Kelainan insersi tali pusat
Insersi tali pusat normal yaitu bagian tengah Abnormal :
1.     Insersi dipinggir
2.     Insersi lapisan amnion/korion (pembungkus ketuban) yaitu insersi velamentosa
3.     Pembuluh-pembuluh darah berjalan melalui pembukaan serviks uteri pada persalinan saat vasa previa.

2.3.2.2            Kelainan Serviks dan Kelainan Vagina
a.    Erosio porsionis uteri
b.     Karsinoma porsionis uteri
c.    Polipus servisis uteri
d.    Varises vulvae
e.    trauma

BAB III    PENUTUP



3.1  Kesimpulan

Kehamilan adalah hasil konsepsi dari proses fertilisasi yang menghasilkan zigot yang setelah minggu ke-36 sampai aterm yang akan menghasilkan janin. Dalam proses perjalanannya tidak selalu berjalan dengan baik, ada kalanya kehamilan disertai dengan penyulit-penyulit seperti kehamilan ektopik terganggu, mola hidatidosa, pendarahan antepartum, dan lain sebagainya.
Kehamilan ektopik terganggu adalah suatu kehamilan ektopik yang mengalami abortus ruptur pada dinding tuba. (Wibowo, 2007). Faktorrjadin bisa tFaktor dalam lumen tuba , faktor pada dinding tuba, faktor di luar dinding tuba, faktor lain seperti  hamil saat berusia lebih dari 35 tahun, fertilisasi in vitro, penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (akdr), riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, dan infertilitas mioma uteri. Dalam tuba terdapat beberapa kemungkinan, karena tuba bukan tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, tidak mungkin janin tumbuh secara utuh, dapat menimbulkan hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi, abortus ke dalam lumen tuba, ruptur dinding tuba. Penanganan yang dapat dilakukan setelah diagnosis ditegakan, segera lakukan persiapan untuk tindakan operatif gawat darurat. Upaya stabilisasi dilakukan dengan segera merestorasi cairan tubuh dengan larutan rl (500 ml dalam lima menit pertama) atau 2l dalam dua jam pertama (termasuk selama tindakan berlangsung).
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal / kehamilan yang berkembang dengan tidak wajar dimana terdapat penyimpangan pertumbuhan dan perkembangan kehamilan yang tidak disertai janin dan seluruh vili korealis mengalami perubahan hidrofik. Mola Hidatidosa banyak ditemukan pada wanita usia saat hamil kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun. Diagnosis Perdarahan pervaginam / gambaran NOK, gejala toksemia pada trimester I dan II, hiperemisis gravidarum, gejala tirotoksikosis dan gejala emboli paru Uterus lebih besar dari usia kehamilan, kista lotein balotemen negatif, denyut jantung janin negatif. Sebagian besar penderita mola hidatidosa akan baik kembali setelah kuretase. Bila hamil lagi, umumnya berjalan normal. Walaupun demikian, 15–20% dari penderita pasca mola hidatidosa dapat mengalami degenerasi keganasan menjadi tumor trofoblas gestasional (TTG), baik berupa mola invasif, koriokarsinoma, maupun placental site trophoblastic tumor (PSTT). Penanganan yang dapat dilakukan yaitu Perbaikan keadaan umum, Evakuasi, Tindakan profilaksis, pengawasan lanjutan untuk memantau/mendeteksi secara dini adanya perubahan ke arah keganasan dan untuk mengevaluasi pasca evakuasi. Langkah pengawasan dilakukan secara klinis, laboratorium, dan radiologis.
                   Klasifikasi perdarahan antepartum terdiri dari kelainan plasenta, kelainan serviks dan vagina. Pada kelaiinan serviks terbagi menjadi 3 yaitu plasenta previa, solusio placenta, dan kelainan insersi tali pusat. Plasenta previa plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir. Diagnosis setiap perdarahan antepartum, pertama kali harus dicurigai bahwa penyebabnya ialah plasenta previa, solusio plasenta dll. Faktor predisposisi dari solusio placenta yaitu umur ibu tua, multiparitas, hipertensi kronis, pre-eklamsi, trauma, tali pusat pendek, tekanan vena cava inferior dan defisiensi asam folik. Gejala jika darah masih sedikit maka tidak selalu terjadi perdarahan pervaginam. Gejala nyeri abdomen,uterus tegang, nyeri tekan uterus darah berwarna kehitaman perdarahan banyak sehingga terjadi syok & janin sudah meninggal. Penanganan dasar penanganan Setiap ibu dengan perdarahan antepartum harus segera dikirim ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk melakukan transfusi darah & operasi.
                     Kelainan serviks dan kelainan vagina yaitu erosio porsionis uteri, karsinoma porsionis uteri, polipus servisis uteri, varises vulvae, trauma.

3.2    Saran      

            Dari kesimpulan di atas, maka pada akhir bab ini, penyusun menyampaikan saran sebagai sumbangan pikiran :
1.             Khususnya bagi para petugas kesehatan untuk dapat melakukan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada pasien.
2.           Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi mahasiswi kebidanan yang masih menempuh pembelajaran, umumnya untuk semuanya.
3.           Apabila ada kekurangan ataupun kesalahan mohon untuk dilengkapi.