BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kehamilan
adalah hasil konsepsi dari proses fertilisasi yang menghasilkan zigot yang
setelah minggu ke-36 sampai aterm yang akan menghasilkan janin dan janin
tersebut akan mempunyai pewarisan sifat dari gen DNA dan RNA kedua orang
tuanya. Dalam proses perjalanannya tidak selalu berjalan dengan baik, ada kalanya kehamilan disertai dengan
penyulit-penyulit seperti kehamilan ektopik terganggu, mola hidatidosa,
pendarahan antepartum, dan lain sebagainya.
Karena
hal inilah maka kami menyusun makalah dengan judul “Penyulit dan Komplikasi Obstetri pada Masalah Kehamilan”. Semoga dengan adanya makalah ini dapat membantu mahasiswa kebidanan untuk
lebih mendalami materi penyulit dan komplikasi obstetri pada
masalah kehamilan, sehingga
kompetensi bisa terselesaikan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar
belakang di atas, maka penyusun merumuskan permasalahan dalam bentuk pertanyaan
:
1.
Apa yang
dimaksud dengan kehamilan ektopik terganggu?
2.
Bagaimana
mola hidatidosa bisa terjadi?
3.
Apa saja
yang termasuk ke dalam pendarahan antepartum?
1.3 Metode Penulisan
Dalam
penyusunan makalah ini kami menggunakan
beberapa metode, yaitu:
1.
Metode Literatur
Yaitu mengumpulkan data yang informasinya
dengan bantuan dari berbagai sumber, baik dari
buku-buku yang berhubungan dengan karya tulis dan kamus serta karya ilmiah
lainnya
2.
Metode Deskripsi Yaitu paparan dengan kata-kata
terperinci, metode ini dilakukan dengan cara memaparkan permasalahan dengan
kata-kata sendiri dan mengurutkannya dengan teratur dan jelas.
BAB II ISI
2.1 Kehamilan Ektopik Terganggu
2.1.1
Pengertian
Kehamilan
ektopik adalah kehamilan yang tempat implantasi/ nidasi/ melekatnya buah
kehamilan di luar tempat yang normal, yakni di luar rongga rahim Sedangkan yang
disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu adalah suatu kehamilan ektopik yang
mengalami abortus ruptur pada dinding tuba. (Wibowo, 2007).
2.1.2
Etiologi
Semua faktor yang menghambat migrasi embrio
ke kavum uteri menyebabkan seorang ibu semakin rentan untuk menderita kehamilan
ektopik, yaitu :
1.
Faktor
dalam lumen tuba
a. Endosalpingitis,
menyebabkan terjadinya penyempitan lumen tuba
b. Hipoplasia
uteri, dengan lumen tuba menyempit dan berkelok-kelok
c. Operasi
plastik tuba dan sterilisasi yang tidak sempurna
2.
Faktor
pada dinding tuba
a.
Endometriosis, sehingga memudahkan terjadinya
implantasi di tuba
b.
Divertikel tuba kongenital, menyebabkan retensi
ovum.
3.
Faktor
di luar dinding tuba
a.
Perlekatan peritubal dengan distorsi atau
lekukan tuba
b.
Tumor yang menekan dinding tuba
c.
Pelvic Inflammatory Disease (PID)
4.
Faktor
lain
a. Hamil
saat berusia lebih dari 35 tahun
b. Fertilisasi
in vitro
c. Penggunaan
Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)
d. Riwayat
kehamilan ektopik sebelumnya
e. Infertilitas
f. Mioma
uteri
2.1.3
Patologi
Proses
implantasi ovum yang dibuahi, yang terjadi di tuba pada dasarnya sama dengan di
kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau inter kolumner. Pada
yang pertama telur berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping.
Perkembangan telur selanjutnya di batasi oleh kurangnya vaskularisasi dan
biasanya telur mati secara dini dan kemudian di resorbsi.
Mengenai nasib kehamilan
dalam tuba terdapat beberapa kemungkinan, karena tuba bukan tempat untuk
pertumbuhan hasil konsepsi, tidak mungkin janin tumbuh secara utuh seperti
dalam uterus. Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan
antara 6 sampai 10 minggu.
1.
Hasil konsepsi mati dini dan
diresorbsi
Ovum mati dan kemudian
diresorbsi, dalam hal ini sering kali adanya kehamilan tidak di ketahui, dan
perdarahan dari uterus yang timbul sesudah meninggalnya ovum, di anggap sebagai
haid yang datangnya agak terlambat.
2.
Abortus ke dalam lumen tuba
Trofoblast dan villus
korialisnya menembus lapisan pseudokapsularis, dan menyebabkan timbulnya
perdarahan dalam lumen tuba. Darah itu menyebabkan pembesaran tuba
(hematosalping) dan dapat pula mengalir terus ke rongga peritoneum, berkumpul
di kavum Douglasi dan menyebabkan hematokele retrouterina.
3.
Ruptur dinding tuba
Ruptur tuba sering terjadi
bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya
ruptur pada pars interstialis terjadi pada kehamilan yang lebih lanjut. Faktor
utama yang menyebabkan ruptur ialah penembusan villi koriales ke dalam lapisan
muskularis tuba terus ke peritoneum.
2.1.4
Prognosis
a.
Bagi
kehamilan berikutnya
Umumnya
penyebab kehamilan ektopik (misalnya penyempitan tuba atau pasca penyakit
radang panggul) bersifat bilateral. Sehingga setelah pernah mengalami kehamilan
ektopik pada tuba satu sisi, kemungkinan pasien akan mengalami kehamilan
ektopik lagi pada tuba sisi yang lain.
b.
Bagi
Ibu
Bila
diagnosis cepat ditegakkan umumnya prognosis baik, terutama bila cukup
penyediaan darah dan fasilitas operasi serta narkose.
2.1.5
Penatalaksanaan
a. Setelah diagnosis
ditegakan, segera lakukan persiapan untuk tindakan operatif gawat darurat.
b. Ketersediaan darah pengganti bukan menjadi syarat
untuk melakukan tindakan operatif karena sumber perdarahan harus dihentikan.
c. Upaya
stabilisasi dilakukan dengan segera merestorasi cairan tubuh dengan larutan RL
(500 ml dalam lima menit pertama) atau 2l dalam dua jam pertama (termasuk selama
tindakan berlangsung)
d. Bila darah
pengganti belum tersedia, berikan autotransfusion berikut ini :
1) Pastikan
darah yang dihisap dari rongga obdomen telah melalui alat pengisap dan wadah
penampung yang steril
2)
Saring darah yang tertampung
dengan kain steril dan masukan kedalam kantung darah (blood bag) apabila
kantung darah tidak tersedia masukan dalam botol bekas cairan infus (yang baru
terpakai dan bersih) dengan diberikan larutan sodium sitrat 10ml untuk setiap
90ml darah.
3)
Transfusikan darah melalui
selang transfusi yang mempunyai saringan pada bagian tabung tetesan.
e. Tindakan
dapat berupa :
1) Parsial
salpingektomi yaitu melakukan eksisi bagian tuba yang mengandung hasil
konsepsi.
2) Salpingostomi
(hanya dilakukan sebagai upaya konservasi dimana tuba tersebut merupakan salah
satu yang masih ada) yaitu mengeluarkan hasil konsepsi pada satu segmen tuba
kemudian diikuti dengan reparasi bagian tersebut. Resiko tindakan ini adalah
kontrol perdarahan yang kurang sempurna atau rekurensi (hasil ektopik ulangan).
f. Mengingat
kehamilan ektopik berkaitan dengan gangguan fungsi transportasi tuba yang di
sebabkan oleh proses infeksi maka sebaiknya pasien di beri anti biotik
kombinasi atau tunggal dengan spektrum yang luas.
g. Untuk
kendali nyeri pasca tindakan dapat diberikan:
1) Ketoprofen
100 mg supositoria.
2) Tramadol
200 mg IV.
3) Pethidin
50 mg IV (siapkan anti dotum terhadap reaksi hipersensitivitas)
h. Atasi
anemia dengan tablet besi (SF) 600 mg per hari.
i. Konseling
pasca tindakan
2.2 Mola Hidatidosa
2.2.1
Pengertian
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal / kehamilan
yang berkembang dengan tidak wajar dimana terdapat penyimpangan
pertumbuhan dan perkembangan kehamilan yang tidak disertai janin dan seluruh
vili korealis mengalami perubahan hidrofik sehingga berupa buah anggur
dengan mengandung banyak cairan dan hormon yang bersifat jinak dan
neoplastik/ganas. Pada kehamilan molahidatidosa terjadi pembesaran perut yang lebih
cepat tanpa terdapat janin dalam rahim serta dapat terjadi perdarahan.
2.2.2
Klasifikasi
Pengklasifikasian mola hidatidosa
di dasarkan ada tidaknya jaringan dalam uterus. Pengklasifikasian tersebut adalah :
1. Mola hidatidosa komplit (MHK)
Merupakan kehamilan abnormal
tanpa embrio yang seluruh vili korealisnya mengalami degenerasi hidropik.
Secara makroskopik ditandai dengan gelembung – gelembung putih, tembus
pandang, berisi cairan jernih dengan ukuran yang bervariasi dari beberapa
millimeter sampai 1 – 2 centimeter.
Massa tersebut dapat tumbuh besar
sehingga memenuhi uterus. Gambaran histologik memperlihatkan:
a. Degenerasi hidropik dan
pembengkakan stroma villus.
b. Tidak ada pembuluh darah dalam
vili yang membengkak
c. Proliferasi epitel trofoblas
hingga mencapai derajat yang beragam.
2. Mola hidatidosa parsial (MHP)
Merupakan keadaan dimana
perubahan mola hidatidosa bersifat lokal serta belum begitu jauh dan masih
terdapat janin atau sedikitnya kantong amnion, umumnya janin mati pada bulan
pertama. Secara makroskopis tanpa gelembung mola hidatidosa yang
disertai janin atau bagian dari janin. Pada gambaran histologi tampak bagian
vili yang avaskuler, terjadi pembengkakan mola hidatidosa yang berjalan lambat,
sementara vili yang vaskuler dari sirkulasi daerah fetus. Plasenta yang masih berfungsi tidak mengalami
perubahan.
2.2.3
Faktor
Resiko
Walaupun etiologi penyakit ini belum diketahui secara
pasti, tetapi telah lama disadari bahwa penderita penyakit ini mempunyai faktor
risiko terentu. Telah diketahui bahwa penyakit ini banyak ditemukan pada :
1) Golongan
sosio ekonomi rendah.
Kejadian penyakit trofoblas di Asia jauh lebih
tinggi di bandingkan Negara maju. Hal ini terjadi karena kekurangan protein
dalam makanan, kekurangan vitamin dalam makanan, dan secara keseluruhan
kekurangan energi yang dikandung dan diperlukan tubuh untuk tumbuh-kembangnya.
Dengan demikian penyakit trofoblas sebagian besar terjadi pada golongan
sosial-ekonomi yang rendah.
2) Usia
saat hamil kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.
Menjelang awal atau akhir
reproduksi seorang wanita terdapat frekuensi mola hidatidosa yang relatif
tinggi dalam kehamilan. Efek usia yang paling menonjol terlihat pada wanita
yang umurnya melebihi 45 tahun, yaitu frekuensi relatif kelainan tersebut 10
kali lebih besar dibandingkan pada usia 20 sampai 40
tahun. Ibu dengan paritas tinggi, memiliki kemungkinan terjadinya abnormalitas
pada kehamilan berikutnya, sehingga ada kemungkinan kehamilan berkembang
menjadi mola hidatidosa.
2.2.4
Gejala
Klinis
Dapat terbagi dalam 3 bagian,
yaitu :
1) Keluhan
utama
Pada pasien amenorhea terdapat
perdarahan kadang – kadang sedikit, kadang banyak, karena perdarahan tersebut
biasanya pasien anemis.
2) Perubahan yang menyertai :
a. Pada pemeriksaan fisik,
kehamilan mola komplit di dapatkan umur kehamilan yang tidak sesuai
dengan besarnya uterus (tinggi fundus uteri). Pembesaran uterus yang tidak
konsisten ini disebabkan oleh pertumbuhan trofoblastik yang eksesif dan
tertahannya darah dalam uterus.
b. Hyperemesis lebih sering terjadi, dan biasanya lebih berat.
c. Tidak ada tanda gerakan janin melainkan keluarnya vesikel – vesikel seperti
anggur yang di awali keluarnya sekret yang kontinue dan intermiten, tidak ada
balottemen pada palpasi, tidak ada bunyi jantung janin pada ultrasonografi dan
tidak tampak kerangka janin pada rontgen foto. Pada mola parsialis (keadaan yang jarang terjadi) dapat ditemukan janin.
d. Kadar hormon choriogonadotropin (HCG) tinggi pada urin dan
darah.
3) Adanya
penyulit :
a. Mungkin timbul preeklamsi atau eklamsi.
Ditemukan gejala preeklamsia (27% kasus) dengan karakteristik gejala
tekanan darah tinggi dan edema dengan hipereflaksia. Biasanya jika terjadi
sebelum minggu ke 24 menunjukkan kearah mola hidatidosa.
b. Akhir – akhir ini ditemukan adanya gejala tirotoksikosis.
Kadar tiroksin plasma pada
wanita dengan kehamilan mola hidatidosa sering meningkat, tetapi jarang
menyebabkan gejala klinis hipertiroidisme. Peningkatan tiroksin plasma
disebabkan oleh estrogen, seperti pada kehamilan normal, yang kadar tiroksin
bebasnya tidak meningkat. Tiroksin bebas dalam serum meningkat akibat efek
gonadotropin korionik atau varian – variannya yang mirip tirotropin. Mola hidatidosa yang disertai tirotoksikosis mempunyai prognosis yang lebih
buruk baik dari segi kematian maupun kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya
penderita meninggal karena krisis tiroid.
c. Emboli
sel ke paru – paru.
Pada tiap kehamilan selalu ada migrasi sel trofoblas ke
peredaran darah kemudian ke paru – paru tanpa memberikan gejala apa –
apa. Tetapi pada mola hidatidosa kadang – kadang jumlah sel trofoblas ini
demikian banyak sehingga dapat menimbulkan emboli paru – paru akut yang bisa
menyebabkan kematian.
d. Kista theca
lutein (kista ovarium yang diameternya berukuran >6 cm yang diikuti
oleh pembesaran ovarium).
Umumnya
kista ini segera menghilang setelah jaringan molahidatidosa dikeluarkan, tetapi
ada juga kasus – kasus di mana kista lutein baru ditemukan pada waktu follow
up. Dengan pemeriksaan klinis insidensi kista lutein kurang lebih 10,2%, tetapi
bila menggunakan ultrasonografi angkanya meningkat sampai 50%. Kasus
molahidatidosa dengan kista lutein mempunyai risiko 4 kali lebih besar untuk
mendapat degenerasi keganasan di kemudian hari dari pada kasus – kasus
tanpa kista.
2.2.5
Diagnosis
1. Anamnesis
Perdarahan
pervaginam / gambaran NOK, gejala toksemia pada trimester I dan II, hiperemisis
gravidarum, gejala tirotoksikosis dan gejala emboli paru
2. Pemeriksaan fisik
Uterus lebih
besar dari usia kehamilan, kista lotein balotemen negatif, denyut jantung
janin negatif.
3. Pemeriksaan penunjang
2.2.6
Prognosis
Resiko kematian/kesakitan pada penderita mola hidatidosa
meningkat karena perdarahan, perforasi uterus, preeklamsi berat, tirotoksikosis
atau infeksi. Akan tetapi, sekarang kematian karena molahidatidosa sudah jarang sekali.
Segera setelah jaringan mola hidatidosa dikeluarkan, uterus akan mengecil,
kadar hCG menurun dan akan mencapai kadar normal sekitar 10 – 12 minggu
pascaevakuasi. Kista lutein juga akan mengecil lagi. Pada beberapa kasus
pengecilan ini bisa mengambil waktu beberapa bulan.
Sebagian besar penderita mola hidatidosa
akan baik kembali setelah kuretase. Bila hamil lagi, umumnya berjalan normal,
namun mola hidatidosa berulang dapat terjadi, tetapi jarang. Walaupun
demikian, 15–20% dari penderita pasca mola hidatidosa dapat mengalami
degenerasi keganasan menjadi tumor trofoblas gestasional (TTG),
baik berupa mola invasif, koriokarsinoma, maupun placental site
trophoblastic tumor (PSTT).
Keganasan ini biasanya terjadi
pada satu tahun pertama pascaevakuasi, yang terbanyak pada enam bulan pertama.
MHP lebih jarang menjadi ganas. Faktor risiko terjadinya TTG pasca
molahidatidosa adalah umur di atas 35 tahun, uterus di atas 20
minggu, kadar hCG preevakuasi di atas 100.000 IU/L, dan kista lutein bilateral.
2.2.7
Penatalaksanaan
1) Perbaikan
keadaan umum.
Yang termasuk usaha ini adalah transfusi darah untuk
mengatasi syok hipovelemik atau anemi, pengobatan terhadap penyulit, seperti
preeklamsi berat atau tirotoksikosis. Setelah penderita stabil, baru dilakukan
evakuasi.
2) Evakuasi.
Pada umumnya evakuasi jaringan
molahidatidosa dilakukan dengan kuret vakum, kemudian sisanya dibersihkan
dengan kuret tajam. Tindakan kuret hanya dilakukan satu kali. Kuret ulangan
hanya dilakukan bila ada indikasi. Pada kasus molahidatidosa yang
belum keluar gelembungnya, harus di pasang dahulu laminaria stift (12 jam
sebelum kuret), sedangkan pada kasus yang sudah keluar
gelembungnya, dapat segera di kuret setelah keadaan umumnya distabilkan. Bila
perlu dapat diberi narkosis neuroleptik.
3) Tindakan profilaksis.
Adalah untuk
mencegah terjadinya keganasan pascamola
pada mereka yang mempunyai faktor risiko, seperti umur diatas 35
tahun atau gambaran PA yang mencurigakan.
Ada 2 cara yaitu :
a. Histerektomi dengan jaringan mola in toto, atau beberapa hari pascakuret.
Tindakan ini dilakukan pada wanita dengan umur diatas 35 tahun serta anak
cukup.
b. Sitostatika profilaksis. Diberikan kepada mereka yang menolak histerektomi
atau wanita muda dengan PA mencurigakan.
Caranya: Methotrexate 20
mg/hari atau Actinomycin
D 1 flc/hari, 5 hari berturut-turut.
4) Pemeriksaan
tindak lanjut (follow up):
Yaitu pengawasan lanjutan
untuk memantau/mendeteksi secara dini adanya perubahan ke arah keganasan dan
untuk mengevaluasi pasca evakuasi. Langkah pengawasan dilakukan secara klinis,
laboratorium, dan radiologis. Monitor kadar hCG sampai kadar hCG menjadi
negatif (-). Dilakukan selama satu tahun
dengan jadwal sebagai berikut:
a. Tiga
bulan pertama : tiap 2 minggu
b. Tiga bulan
kedua : tiap 1
bulan
c. Tiga bulan terakhir : tiap 2
bulan
Selama dilakukan pemeriksaan ginekologik dan ß-hCG, serta
pemeriksaan foto toraks kalau perlu. Tindak lanjut dianggap selesai bila satu
tahun pascaevakuasi molahidatidosa, penderita tidak mempunyai keluhan dan kadar
ß-hCG di bawah 5 IU/L atau bila penderita sudah hamil lagi dengan normal.
Selama tindak lanjut, pasien dianjurkan untuk menggunakan
kondom atau pil kontrasepsi hormonal (apabila masih ingin punya anak) atau
tubektomi apabila ingin menghentikan fertilisasi.
2.3
Pendarahan
Antepartum
2.3.1
Pengertian
Perdarahan
antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah kehamilan
28 minggu. Biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada perdarahan
kehamilan sebelum 28 minggu (Mochtar, 1998).
Pedarahan
antepartum biasanya di batasi pada perdarahan jalan lahir setelah kehamilan 28
Minggu, walaupun patologi yang sama dapat pula terjadi pada kehamilan sebelum
28 Minggu. Perdarahan setelah kehamilan 28 Minggu biasanya lebih banyak &
lebih berbahaya dari pada sebelum kehamilan 28 Minggu, oleh karena itu
memerlukan penanganan berbeda.
2.3.2
Klasifikasi Perdarahan Antepartum
2.3.2.1
Kelainan Plasenta
1. Plasenta previa
a. Definisi
Plasenta
yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi
sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir.Pada keadaan normal plasenta
terletak dibagian atas uterus.
b. Klasifikasi
Plasenta
previa didasarkan atas terabanya jaringan plasenta melalui pembukaan jalan
lahir pada waktu tertentu. Jenis
plasenta previa:
1) Plasenta
previa totalis : seluruh pembukaan jalan lahir tertutup plasenta.
2) Plasenta
previa lateralis/parsialis : sebagian pembukaan jalan lahir tertutup
plasenta.
3) Plasenta
previa marginalis : pinggir plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan.
4) Plasenta
letak rendah : plasenta yang letaknya abnormal pada segmen bawah uterus,
tapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir.
Pinggir plasenta berada kira-kira 3 atau 4
cm diatas pinggir pembukaan, sehingga tidak akan teraba pada pembukaan jalan
lahir. Karena klasifikasi tidak didasarkan pada keadaan anatomik melainkan
fisiologis, maka klasifikasi akan berubah setiap waktu.
3. Etiologi
Plasenta previa pada primigravida yang
berumur > 35 Th , 10 kali lebih sering dibandingkan dengan primigravida yang
berumur < 25 Th.
4. Gambaran klinik
Ø
HAP tanpa nyeri & perdarahan tanpa alasan
Ø
Darah berwarna merah segar
Ø
Bagian terbawah janin belum masuk PAP
Ø
Kelainan letak janin
Tanda
utama plasenta previa adalah perdarahan tanpa alasan, maka
sesegera mungkin pasien datang ke Rumah Sakit untuk
mendapatkan pertolongan.
5.
Penentuan Letak
Plasenta Previa
a.
Penentuan letak plasenta secara langsung .
Perabaan
fornises / melalui kanalis servikalis, berbahaya karena dapat menimbulkan
perdarahan banyak.
b.
Penentuan letak plasenta tidak langsung.
USG adalah cara yang sangat tepat,
karena tidak menimbulkan bahaya radiasi bagi ibu dan janinnya & tidak
menimbulkan rasa nyeri.
6.
Diagnosis
Setiap
perdarahan antepartum, pertama kali harus dicurigai bahwa penyebabnya ialah
plasenta previa, solusio plasenta dll.
a.
Anamnesis
Perdarahan jalan lahir pada kehamilan
setelah 28 Minggu berlangsung tanpa
nyeri, tanpa alasan, terutama pada multigravida. Banyak perdarahan tidak dapat
dinilai dari anamnesis, melainkan dari pemeriksaan hematokrit.
b.
Pemeriksaan luar
Bagian terbawah janin biasanya belum masuk
PAP, apabila presentasi kepala biasanya kepala masih terapung diatas PAP &
sukar didorong ke dalam PAP.
c.
Pemeriksaan inspekulo
Bertujuan untuk mengetahui apakah
perdarahan berasal dari ostium uteri eksternum atau dari kelainan serviks &
vagina, seperti erosio porsionis uteri, karsinoma porsio uteri, polipus serviks
uteri, varises vulva & trauma. Apabila perdarahan berasal dari ostium uteri
eksternum harus dicurigai plasenta previa.
7.
Penanganan
a.
Prinsip dasar penanganan
Setiap
ibu dengan perdarahan antepartum harus segera dikirim ke Rumah Sakit yang
memiliki fasilitas untuk melakukan transfusi darah & operasi.
b. Penanganan
1. Penanganan
pasif
§ Jika
perdarahan diperkirakan tidak membahayakan
§ Janin
masih premature dan masih hidup
§ Umur
kehamilan kurang dari 37 Minggu
§ Tafsiran
berat janin belum sampai 2500 gram
§ Tanda
persalinan belum mulai dapat dibenarkan untuk menunda persalinan sampai janin
dapat hidup di luar kandungan lebih baik.
§ Tidak
boleh dilakukan pemeriksaan dalam (VT)
§ Tangani
anemia
§ Untuk
menilai banyaknya perdarahan harus lebih didasarkan pada pemeriksaan hemoglobin
& hematokrit secara berkala, dari pada memperkirakan banyaknya darah yang
hilang pervaginam.
Tujuan
penanganan pasif : Pada kasus tertentu sangat bermanfaat untuk mengurangi
angka kematian neonatus yang tinggi akibat prematuritas. Pada penanganan pasif
ini tidak akan berhasil untuk angka kematian perinatal pada kasus plasenta
previa sentralis.
2.
Penanganan aktif
§ Perdarahan
di nilai membahayakan
§ Terjadi
pada kehamilan lebih dari 37 Minggu
§ Tafsiran
berat janin lebih dari 2500 gram tanda persalinan sudah mulai
§ Pemeriksaan
dalam boleh dilakukan di meja operasi.
8. Prognosis
Pada plasenta previa dengan penanggulangan
yang baik maka kematian ibu rendah
sekali,tapi jika keadaan janin buruk menyebabkan kematian perinatal
prematuritas.
Terdapat
2 pilihan cara persalinan :
1)
Persalinan pervaginam
Bertujuan agar bagian terbawah janin menekan
plasenta & bagian plasenta yang berdarah selama persalinan berlangsung.
Sehingga perdarahan berhenti. Dilakukan
dengan cara :
a.
Pemecahan selaput ketuban karena
:
ü
Bagian terbawah janin menekan plasenta dan
bagian plasenta yang berdarah
ü
Bagian plasenta yang berdarah dapat bebas
mengikuti regangan segmen bawah uterus sehingga pelepasan plasenta dapat
dihindari
b.
Pemasangan Cunam Willett dan versi Braxton Hiks
2)
Seksio sesarea
Prinsip utama dalam melakukan seksio sesarea
adalah untuk menyelamatkan ibu, sehingga walaupun janin meninggal atau tak
punya harapan untuk hidup, tindakan ini tetap dilakukan.
2. Solusio plasenta
a. Definisi Solusio Plasenta
Solusio
plasenta ialah terlepasnya plasenta yang letaknya normal pada korpus uteri
sebelum janin lahir.
b. Klasifikasi
Solusio plasenta
Solusio plasenta dibagi
dalam 3 macam :
1)
Solusio plasenta totalis : plasenta lepas seluruhnya
2)
Solusio plasenta parsialis : plasenta lepas sebagian
3)
Solusio plasenta ringan / ruptura sinus marginalis Plasenta lepas pinggirnya (sedikit).
c.
Faktor
predisposisi
1)
Umur ibu tua
2)
Multiparitas
3)
Hipertensi kronis
4)
Pre eklamsi
5)
Trauma
6)
Tali pusat pendek
7)
Tekanan vena cava inferior
8)
Defisiensi asam folik
d.
Gejala Solusio plasenta
a)
Gejala klinis :
ü
Solusio plasenta ringan
Terjadi ruptura sinus marginalis
/ sebagian kecil plasenta yang lepas, perdarahan sedikit / terjadi bisa
pervaginam dan berwarna kehitaman, perut agak sakit atau tegang, bagian janin
masih mudah diraba.
ü Solusio
plasenta sedang
Terjadi pelepasan plasenta lebih dari 1/4
bagian atau kurang dari 2/3 bagian, sakit perut berlebihan, perdarahan
pervaginam, dinding uterus tegang dan nyeri tekan sehingga janin sukar
diraba, ibu syok dan gawat janin, kelainan pembekuan darah & ginjal.
ü
Solusio plasenta berat
Plasenta lepas lebih
dari 2/3 bagian, terjadi tiba-tiba, ibu syok dan janin sudah meninggal, terjadi
perdarahan pervaginam, kelainan pembekuan darah & payah ginjal.
b)
Gejala Umum
1.
Jika darah masih sedikit maka tidak selalu terjadi
perdarahan pervaginam.
3.
Darah berwarna kehitaman
4.
Perdarahan banyak sehingga terjadi syok & janin
sudah meninggal
e.
Prognosis
Pada
solusio plasenta prognosis tergantung luas plasenta yang lepas, banyaknya
perdarahan, cepatnya penanganan yang ditunjukan oleh ibu.Untuk solusio plasenta
berat 100% kematian pada janin.Untuk solusio plasenta ringan dan sedang
tergantung pada luas plasenta yang lepas, usia kehamilan yang ditunjukan untuk
janin.
f.
Komplikasi
2.
Kelainan pembekuan darah
3.
Oliguria sampai dengan payah ginjal
4.
Gawat janin sampai menyebabkan kematian janin
g.
Penanganan
1)
Solusio plasenta ringan
Pada
kehamilan kurang dari 37 Minggu jika perdarahan berhenti, nyeri
abdomen berkurang, uterus tidak tegang, maka pasien boleh pulang.Tapi jika
perdarahan bertambah lagi & tanda-tanda solusio plasenta berlebihan maka
akhiri kehamilannya.Pada kehamilan lebih dari 37 Minggu dengan mengakhiri
kehamilan.
2)
Solusio plasenta sedang dan berat
a. Sediakan
/pasang tranfusi darah
b.
Memecahkan ketuban dapat dilakukan persalinan
pervaginam lebih 6 jam, setelah solusio plasenta maka harus dilakukan seksio
sesarea.
c. Sediakan/beri
infus oksitosin
d. Penanganan
komplikasi
3. Kelainan insersi
tali pusat
Insersi tali pusat normal yaitu bagian
tengah Abnormal :
1.
Insersi dipinggir
2.
Insersi lapisan amnion/korion (pembungkus
ketuban) yaitu insersi velamentosa
3.
Pembuluh-pembuluh darah berjalan melalui
pembukaan serviks uteri pada persalinan saat vasa previa.
2.3.2.2
Kelainan Serviks dan Kelainan Vagina
a.
Erosio porsionis uteri
b.
Karsinoma
porsionis uteri
c.
Polipus servisis uteri
d.
Varises vulvae
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kehamilan adalah hasil konsepsi dari proses
fertilisasi yang menghasilkan zigot yang setelah minggu ke-36 sampai aterm yang
akan menghasilkan janin. Dalam proses perjalanannya tidak selalu berjalan dengan baik,
ada kalanya kehamilan disertai dengan penyulit-penyulit seperti kehamilan
ektopik terganggu, mola hidatidosa, pendarahan antepartum, dan lain sebagainya.
Kehamilan ektopik terganggu adalah
suatu kehamilan ektopik yang mengalami abortus ruptur pada dinding tuba. (Wibowo, 2007).
Faktorrjadin bisa tFaktor dalam lumen tuba , faktor pada dinding tuba, faktor
di luar dinding tuba, faktor lain seperti
hamil saat berusia lebih dari 35 tahun,
fertilisasi in vitro,
penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (akdr),
riwayat kehamilan ektopik sebelumnya,
dan infertilitas mioma
uteri. Dalam tuba terdapat beberapa
kemungkinan, karena tuba bukan tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, tidak mungkin
janin tumbuh secara utuh,
dapat menimbulkan hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi,
abortus ke dalam lumen tuba,
ruptur dinding tuba.
Penanganan yang dapat dilakukan setelah diagnosis ditegakan,
segera lakukan persiapan untuk tindakan operatif gawat darurat. Upaya stabilisasi dilakukan dengan segera merestorasi cairan tubuh
dengan larutan rl (500 ml dalam lima menit pertama) atau 2l dalam dua jam
pertama (termasuk selama tindakan berlangsung).
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal / kehamilan
yang berkembang dengan tidak wajar dimana terdapat penyimpangan
pertumbuhan dan perkembangan kehamilan yang tidak disertai janin dan seluruh
vili korealis mengalami perubahan hidrofik. Mola Hidatidosa banyak
ditemukan pada wanita usia saat hamil kurang dari 20 tahun atau
lebih dari 35 tahun. Diagnosis Perdarahan
pervaginam / gambaran NOK, gejala toksemia pada trimester I dan II, hiperemisis
gravidarum, gejala tirotoksikosis dan gejala emboli paru Uterus lebih
besar dari usia kehamilan, kista lotein balotemen negatif, denyut jantung
janin negatif. Sebagian besar penderita mola hidatidosa akan baik kembali setelah
kuretase. Bila hamil lagi, umumnya berjalan normal. Walaupun demikian, 15–20%
dari penderita pasca mola hidatidosa dapat mengalami degenerasi keganasan
menjadi tumor trofoblas gestasional (TTG), baik berupa mola
invasif, koriokarsinoma, maupun placental site trophoblastic tumor (PSTT). Penanganan yang dapat dilakukan yaitu Perbaikan
keadaan umum, Evakuasi, Tindakan profilaksis, pengawasan lanjutan untuk
memantau/mendeteksi secara dini adanya perubahan ke arah keganasan dan untuk
mengevaluasi pasca evakuasi. Langkah pengawasan dilakukan secara klinis,
laboratorium, dan radiologis.
Klasifikasi
perdarahan antepartum
terdiri dari kelainan plasenta,
kelainan serviks dan vagina. Pada kelaiinan serviks terbagi menjadi 3 yaitu
plasenta previa, solusio placenta, dan kelainan insersi tali pusat. Plasenta
previa plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah uterus
sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir.
Diagnosis setiap perdarahan
antepartum, pertama kali harus dicurigai bahwa penyebabnya ialah plasenta
previa, solusio plasenta dll. Faktor predisposisi dari solusio placenta
yaitu umur ibu tua,
multiparitas, hipertensi
kronis, pre-eklamsi,
trauma, tali pusat pendek,
tekanan vena cava inferior
dan defisiensi asam folik. Gejala jika
darah masih sedikit maka tidak selalu terjadi perdarahan pervaginam. Gejala nyeri abdomen,uterus tegang, nyeri tekan uterus darah
berwarna kehitaman perdarahan banyak sehingga terjadi syok & janin sudah
meninggal. Penanganan dasar penanganan Setiap
ibu dengan perdarahan antepartum harus segera dikirim ke rumah sakit yang
memiliki fasilitas untuk melakukan transfusi darah & operasi.
Kelainan
serviks dan kelainan vagina
yaitu erosio porsionis uteri,
karsinoma porsionis uteri,
polipus servisis uteri,
varises vulvae, trauma.
3.2 Saran
Dari
kesimpulan di atas, maka pada akhir bab ini, penyusun menyampaikan saran
sebagai sumbangan pikiran :
1.
Khususnya bagi para petugas kesehatan untuk dapat
melakukan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada pasien.
2.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi
mahasiswi kebidanan yang masih menempuh pembelajaran, umumnya untuk semuanya.
3.
Apabila ada kekurangan ataupun kesalahan mohon untuk dilengkapi.